Peristiwa Rengasdengklok
Perdebatan Antara Golongan Tua & Golongan Muda
Proklamasi, ternyata didahului oleh
perdebatan hebat antara golongan pemuda dengan golongan tua. Baik
golongan tua maupun golongan muda, sesungguhnya sama-sama menginginkan
secepatnya dilakukan Proklamasi Kemerdekaan dalam suasana kekosongan
kekuasaan dari tangan pemerintah Jepang. Hanya saja, mengenai cara
melaksanakan proklamasi itu terdapat perbedaan pendapat. Golongan
tua, sesuai dengan perhitungan politiknya, berpendapat bahwa Indonesia
dapat merdeka tanpa pertumpahan darah, jika tetap bekerjasama dengan
Jepang.
Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ). Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan kekuatan sendiri. Lepas sama sekali dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan pendapat ini, mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada golongan tua yang mendorong mereka melakukan “aksi penculikan” terhadap diri Soekarno-Hatta ( lihat Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:77-81 )
Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ). Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan kekuatan sendiri. Lepas sama sekali dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan pendapat ini, mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada golongan tua yang mendorong mereka melakukan “aksi penculikan” terhadap diri Soekarno-Hatta ( lihat Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:77-81 )
Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta,
tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara
sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan
sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi ( 1984:58 ); Ahmad Soebardjo (
1978:85-87 ) sebagai berikut:
” Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !”
kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan
pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir
tentara Jepang. ” Kita harus segera merebut kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ” Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; ” Jika
Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan
berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan
besar-besaran esok hari .”
Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata: ” Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”. Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang
adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan
berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara
tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa
saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan,
mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu ?”
Namun, para pemuda terus mendesak; ” apakah
kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita
sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah
takluk dalam ‘Perang Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?”. Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; “… kekuatan
yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan
kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau
perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita
tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan,
bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Para
pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan
kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya
semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno
menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus
berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung
Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada waktu itu antara
lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan
Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa
usul para pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang
perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan
harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak puas.
Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan
Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh
Jepang.
Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok.
Aksi “penculikan” itu sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana
dikemukakan Lasmidjah Hardi ( 1984:60 ). Bung Karno marah dan kecewa,
terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya
yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan
patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno
tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda
untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan
Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok
kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para pemuda untuk
mengamankan Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA ( Pembela Tanah Air ) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta
telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan
bersama-sama. Di samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar
15 km. dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan
mudah dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati
Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah
Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari penuh,
Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk
menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan
terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak
membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar.
Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan
penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat
mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti
yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi,
Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap
berpegang teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di sebuah
pondok bambu berbentuk panggung di tengah persawahan
Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas; ” Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …”. ” Lalu apa ?”
teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan
yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak
atau berbicara.
Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; ” Yang
paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang
tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini
untuk dijalankan tanggal 17 “. ” Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni. ” Saya
seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan
dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan
kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu
adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita
sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa,
ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari
Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci.
Al-Qur’an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat,
oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia “.
Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di
Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi ( 1984:61 ).
Sementara
itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan
Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang harus
dilaksanakan di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk
menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan
kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar
Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke
Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput
tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo
memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada
tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan
jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta ( Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:82-83 ).
Merumuskan Teks Proklamasi Kemerdekaan
Rombongan
Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju
rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih
dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah Soekarno. Rumah
Laksamada Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi
karena sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada
Bung Karno dan tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang dikutip Soebardjo (
1978:60-61 ) melukiskan sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda
tentunya memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia itu, karena
perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan dengan rakyat Indonesia.
Sebagai
seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih banyak dunia
ini dari rata-rata seorang perwira Angkatan Darat , ia mempunyai
pandangan yang lebih tepat tentang keadaan dari orang-orang militer
yang agak sempit pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa.
Ia adalah pejabat yang bertanggungjawab atas Bukanfu di
Batavia; kantor pembelian Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak khusus
membatasi diri hanya pada tugas-tugas militernya saja, tetapi agar
dirinya dapat terbiasa dengan suasana di Jawa , ia membentuk suatu
kantor penerangan bagi dirinya di tempat yang sama yang pimpinannya
dipercayakan kepada Soebardjo. Melalui kantor inilah, yang menuntut
biaya yang tidak sedikit baginya, ia mendapatkan pengertian
tentang masalah-masalah di Jawa lebih baik dari yang didapatnya dari
buletin-buletin resmi Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia memberanikan
diri untuk mendirikan asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis muda
Indonesia . Pemimpin-pemimpin terkemuka, diperbantukan sebagai
guru-guru untuk mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak
radikal dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia
berhasil mengambil hati dari banyak nasionalis yang tahu pasti bahwa
keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan mereka selalu bisa dinyatakan
kepada Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan
kepada para tokoh nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha penting
bagi masa depan bangsanya.
Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui Somobuco (
kepala pemerintahan umum ), Mayor Jenderal Nishimura, untuk
menjajagi sikapnya mengenai pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan.
Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah menyatakan menyerah
kepada Sekutu, maka berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak
diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara Jepang
diharuskan tunduk kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis
kebi jakan itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta mengadakan rapat
PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerde kaan. Melihat
kenyataan ini, Soekarno-Hatta sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada
gunanya lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan
Jepang. Mereka hanya berharap agar pihak Jepang tidak menghalang-ha
langi pelaksanaan proklamasi kemerdekaan oleh rakyat Indonesia
sendiri ( Hatta, 1970:54-55 ).
Setelah
pertemuan itu, Soekarno dan Hatta kembali ke rumah Laksamana Maeda.
Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi
kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar
tidurnya di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung.
Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan
B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas
rumusan teks Proklamasi. Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik dari
golongan tua maupun dari golongan pemuda, menunggu di serambi muka.
Menurut
Soebardjo ( 1978:109 ) di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang
tengah malam, rumusan teks Proklamasi yang akan dibacakan esok
harinya disusun. Soekarno menuliskan konsep proklamasi pada secarik
kertas. Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara
lisan. Kalimat pertama dari teks Proklamasi merupakan saran Ahmad
Soebardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu Junbi Cosakai ,
sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Mohammad Hatta.
Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari
kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut
pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan kekuasaan ( transfer of sovereignty ). Maka dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.
Setelah
kelompok yang menyendiri di ruang makan itu selesai merumuskan teks
Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin
yang berkumpul di ruangan itu. Saat itu, dinihari menjelang subuh.
Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu
dengan membacakan rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan konsep.
Soebardjo ( 1978:109-110 ) melukiskan suasana ketika itu: “ Sementara
teks Proklamasi ditik, kami menggunakan kesempatan untuk mengambil
makanan dan minuman dari ruang dapur, yang telah disiapkan sebelumnya
oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat
atas. Kami belum makan apa-apa, ketika meninggalkan Rengasdengklok.
Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis untuk makan
sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh. Setelah kami terima
kembali teks yang telah ditik, kami semuanya menuju ke ruang besar di
bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada kursi di dalam
ruangan. Saya bercampur dengan beberapa anggota Panitia di
tengah-tengah ruangan. Sukarni berdiri di samping saya. Hatta berdiri
mendampingi Sukarno menghadap para hadirin . Waktu menunjukkan
pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno membuka
pertemuan dini hari itu dengan beberapa patah kata.
“Keadaan
yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan
Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap dibacakan di
hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa saudara-saudara
sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan
menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing“. Kepada
mereka yang hadir, Soekarno menyarankan agar bersama-sama
menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia .
Saran itu diperkuat oleh Mohammad Hatta dengan mengambil contoh pada
“Declaration of Independence ” Amerika Serikat. Usul itu
ditentang oleh pihak pemuda yang tidak setuju kalau tokoh-tokoh
golongan tua yang disebutnya “budak-budak Jepang” turut
menandatangani naskah proklamasi. Sukarni mengusulkan agar
penandatangan naskah proklamasi itu cukup dua orang saja, yakni
Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia . Usul Sukarni
itu diterima oleh hadirin.
Naskah
yang sudah diketik oleh Sajuti Melik, segera ditandatangani oleh
Soekarno dan Mohammad Hatta. Persoalan timbul mengenai bagaimana
Proklamasi itu harus diumumkan kepada rakyat di seluruh Indonesia ,
dan juga ke seluruh pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana
hal ini harus diselenggarakan? Menurut Soebardjo ( 1978:113 ), Sukarni
kemudian memberitahukan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah
diserukan untuk datang berbondong-bondong ke lapangan IKADA pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi Kemerdekaan. Akan tetapi Soekarno menolak saran Sukarni. ” Tidak ,” kata Soekarno, ” lebih
baik dilakukan di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur.
Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa
kita harus memancing-mancing insiden ? Lapangan IKADA adalah
lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan
penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu
bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan
membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan terjadi. Karena itu,
saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56
sekitar pukul 10.00 pagi .” Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.
Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Hari Jumat di bulan Ramadhan,
pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun
pagi masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan
para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi
kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka,
telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia
hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta,
pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para pemuda
yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak
naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia ( Hatta, 1970:53
).
Menjelang pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil
Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk
mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan beberapa
pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk
mempersiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud
tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang
bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang
bambu yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan
diberi tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah.
Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno
sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena
kainnya berukuran tidak sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak
disiapkan untuk bendera.
Sementara
itu, rakyat yang telah mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi
Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati oleh
sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa orang
tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari pihak Jepang.
Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu
Soekarno terserang sakit, malamnya panas dingin terus menerus dan
baru tidur setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan
telah banyak berdatangan, rakyat yang telah menunggu sejak pagi,
mulai tidak sabar lagi. Mereka yang diliputi suasana tegang
berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang
tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan teks
Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks Proklamasi tanpa
kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad
Hatta datang dengan pakaian putih-putih dan langsung menuju kamar
Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit
dari tempat tidurnya, lalu berpakaian. Ia juga mengenakan stelan
putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.
Marwati
Djoened Poesponegoro ( 1984:92-94 ) melukiskan upacara pembacaan teks
Proklamasi itu. Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa
protokol. Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA,
segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah
menunggu sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan
sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad
Hatta maju beberapa langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap
dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum
membacakan teks proklamasi.
“Saudara-saudara sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh
tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah
air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita
untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi
jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang,
usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di
dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada
mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita
sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah
saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air
kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani
mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan
kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan
pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan
itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya
untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara!
Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah
Proklamasi kami: PROKLAMASI; Kami bangsa Indonesia dengan ini
menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal yang mengenai pemindahan
kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945. Atas nama
bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.
Demikianlah
saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan
lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini
kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik
Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati
kemerdekaan kita itu“. ( Koesnodiprojo, 1951 ).
Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih.
Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga
terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang.
Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia
menolak: ” lebih baik seorang prajurit ,” katanya. Tanpa ada
yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau
dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil bendera dari
atas baki yang telah disediakan dan mengikatnya pada tali dibantu
oleh Latief Hendraningrat.
Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan
irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran
bendera, dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan
dr. Muwardi.
Setelah upacara
pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi ( 1984:77 )
mengemukakan bahwa ada sepasukan barisan pelopor yang berjumlah kurang
lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki halaman rumah
Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang penuh kecewa
S. Brata meminta agar Bung Karno membacakan Proklamasi sekali lagi.
Mendengar teriakan itu Bung Karno tidak sampai hati, ia keluar
dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa
Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya.
Mendengar keterangan itu Brata belum merasa puas, ia meminta agar
Bung Karno memberi amanat singkat. Kali ini permintaannya dipenuhi.
Selesai upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota
Barisan Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.
Tidak
lama setelah Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79)
datang tiga orang pembesar Jepang. Mereka diperintahkan menunggu di
ruang belakang, tanpa diberi kursi. Sudiro sudah dapat menerka, untuk
apa mereka datang. Para anggota Barisan Pelopor mulai mengepungnya.
Bung Karno sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk, sehingga
terpaksa berpakaian lagi. Kemudian terjadi dialog antara utusan
Jepang dengan Bung Karno: ” Kami diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi .” ” Proklamasi sudah saya ucapkan,” jawab Bung Karno dengan tenang. ” Sudahkah ?” tanya utusan Jepang itu keheranan. ” Ya, sudah !”
jawab Bung Karno. Di sekeliling utusan Jepang itu, mata para pemuda
melotot dan tangan mereka sudah diletakkan di atas golok
masing-masing. Melihat kondisi seperti itu, orang-orang Jepang itu pun
segera pamit. Sementara itu, Latief Hendraningrat tercenung
memikirkan kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, ia lupa
menelpon Soetarto dari PFN untuk mendokumentasikan peristiwa itu.
Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang plat filmnya tinggal tiga
lembar ( saat itu belum ada rol film ). Sehingga dari seluruh peristiwa
bersejarah itu, dokumentasinya hanya ada 3 ( tiga ) ; yakni sewaktu
Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pada saat pengibaran bendera,
dan sebagian foto hadirin yang menyaksikan peristiwa yang sangat
bersejarah itu.
Perjuangan Menghadapi Pergolakan Dalam Negeri
PERJUANGAN MENGHADAPI
PERGOLAKAN DALAM NEGERI
“Peristiwa Andi Aziz di Makassar”
Andi Azis adalah seorang mantan Letnan KNIL dan sudah masuk TNI dengan pangkat Kapten, dia ikut berontak bahkan memimpinnya. Dia memiliki riwayat yang sama uniknya dengan petualang KNIL lainnya seperti Westerling. Andi Aziz memiliki cerita hidupnya sendiri. Cerita hidupnya sebelum berontak jauh berbeda dengan orang – orang Sulawesi Selatan pada umumnya. Tidak heran bila Andi Azis menjalanani pekerjaan yang jauh berbeda seperti orang-orang Sulawesi Selatan pada umumnya, sebagai serdadu KNIL. Bisa dipastikan Andi Azis adalah salah satu dari sedikit orang Bugis yang menjadi serdadu KNIL. Bukan tidak mungkin bila Andi Azis adalah orang Bugis dengan pangkat tertinggi dalam KNIL.
Usai Penyerahan Kedaulatan (Souvereniteit Overdracht) pada tanggal 27 Desember 1949, dalam negeri Republik Indonesia Serikat mulai bergelora. Serpihan ledakan bom waktu peninggalan Belanda mulai menunjukkan akibatnya. Pada umumnya serpihan tersebut mengisyaratkan tiga hal. Pertama, ketakutan antek tentara Belanda yang tergabung dalam KNIL, yang bertanya-tanya akan bagaimana nasib mereka setelah penyerahan kedaulatan tersebut. Kedua, terperangkapnya para pimpinan tentara yang jumlahnya cukup banyak dalam penentuan sikap dan ideologi mereka. Utamanya para pimpinan militer didikan dan binaan Belanda. Terakhir, masih banyaknya terjadi dualisme kepemimpinan dalam kelompok ketentaraan Indonesia antara kelompok APRIS dengan kelompok pejuang gerilya. Walaupun sejak bulan Juni 1947 Pemerintah RI telah mengeluarkan kebijaksanaan bahwa segenap badan kelaskaran baik yang tergabung dalam biro perjuangan maupun yang lepas berada dalam satu wadah dan satu komando yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ketiga hal tersebut semakin mengental pada daerah yang masih kuat pengaruh “Belandanya”. Salah satu daerah dimaksud adalah wilayah Sulawesi Selatan. Tiga peristiwa di tahun 50 yang terjadi dikota Makassar dan wilayah Sulawesi Selatan memperlihatkan kekentalan tersebut. Peristiwa pertama terjadi pada tanggal 5 April 1950 yang terkenal sebagai peristiwa Andi Azis. Peristiwa kedua yang terjadi pada tanggal 15 Mei 1950 dan ketiga yang terjadi pada tanggal 5 Agustus 1950. Dalam ketiga peristiwa tersebut yang menjadi penyebabnya selalu permasalahan mengenai kegamangan tentara KNIL akan nasib mereka. Sedangkan 2 peristiwa terakhir menjadi tolak ukur dari kegamangan tersebut. Menteri Pertahanan RIS, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam pertemuan pers mengatakan bahwa tidak heran dengan terjadinya peristiwa paling akhir pada tanggal 5 Agustus 1950 (Sin Po 8/8/50). Rentetan ketiga peristiwa di Makassar tersebut agaknya selalu bermula dari upaya-upaya para anggota KNIL (kemudian dilebur dalam KL) untuk mengacaukan kehidupan rakyat di Makassar sekaligus berupaya untuk memancing tentara APRIS memulai serangan kepada mereka. Tidak kalah ikut menentukan suasana panas dikota Makassar adalah persoalan tuntutan masyarakat untuk segera menuju negara kesatuan. Tentu saja gerakan rakyat ini tidak saja terjadi di Indonesia Timur, tapi juga di Jawa Timur, Pasundan, Sumatera Timur dan berbagai daerah lainnya. Pemerintah RIS dalam hal ini atau setidaknya banyak pihak dalam kabinet dan Parlemen sangat memberi angin menuju Negara Kesatuan. Rencana kedatangan tentara APRIS ke Makassar nampaknya terlalu dibesar-besarkan semata-mata karena rasa takut akan menguntungkan pihak pemerintah pusat (RIS). Oleh karena itu bukan tidak mungkin pemberontakan Andi Aziz adalah rekayasa politik pihak KNIL akibat provokasi tokoh-tokoh anti RIS dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur. Andi Aziz diyakini oleh banyak pihak adalah seorang anggota militer dengan pribadi yang baik. Namun dalam skala kesatuan militer KNIL di Sulawesi Selatan dirinya lebih condong sebagai boneka. Tampak bahwa Kolonel Schotborg dan jakasa agung NIT Sumokil adalah pengendali utama kekuatan KNIL dikota Makassar.
Nama lengkapnya adalah Andi Abdoel Aziz, ia terlahir dari pasangan Andi Djuanna Daeng Maliungan dan Becce Pesse. Anak tertua dari 11 bersaudara. Ia menyandang gelar pemberontak akibat perjuangannya untuk mempertahankan existensi Negara Indonesia Timur. Ia mengambil alih kekuasaan militer di Makassar pada 5 April 1950 ketika umurnya baru 24 tahun. Ia adalah korban politik Belanda divide et impera, di pengadilan militer ia mengakui menyesal bahwa ia buta politik. Sejak umur 10 tahun, Andi Aziz sudah dikirim oleh orang tuanya ke negeri Belanda untuk sekolah dan menyelesaikan sekolah lanjutannya disana.
Tahun 1939-1940 pecah Perang Dunia ke 2. Belanda kena getahnya akibat serangan oleh Jerman. Andi Aziz bersama dengan rekan rekan sekolahnya turut ikut berjuang bergerak di bawah tanah melawan Jerman. Pada saat itu kedudukan Andi Aziz cukup terdesak sehingga ia memutuskan untuk hijrah ke Inggris. Karena Inggris adalah sekutu Belanda maka hal ini sangat mempermudah ruang geraknya. Disana ia dididik oleh Inggris di akademi militer. Ia adalah kawan sebangku Jendral Moshe Dayan mantan Menteri Pertahanan Israel dan juga Raja Hussein dari Yordania. Ia tamat pendidikan para-militer payung pada tahun 1943 dengan pangkat Letnan muda dan bertugas di Inggris.
Pada akhir tahun 1943 ia meminta kepada Inggris untuk diterjunkan di Belanda dan membantu melawan Jerman. Niat sebetulnya adalah untuk mengunjungi Ayah angkatnya yang berada di Belanda waktu itu, yang mana adalah juga seorang pejabat tinggi Belanda di Pare Pare, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1944 ia kembali ke Inggris setelah sempat membantu Belanda melawan Jerman. Sebagai tentara Inggris ia di kirim ke Calcutta, India yang mana adalah salah satu Negara jajahan Inggris. Disana ia mengikuti latihan perang di dalam hutan, setelah 3 bulan mengikuti latihan perang gerilya ia kemudian dikirim oleh Inggris ke Singapura pada tahun 1945 untuk melawan Jepang. Belum sempat melawan Jepang ternyata Negara matahari terbit itu sudah bertekuk lutut pada 15 Agustus 1945. Selama di Singapura itulah ia mendengar nama Soekarno dan Hatta yang mana keduanya memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Nama Indonesia belum pernah di dengar oleh Andi Aziz sebelumnya. Sejak saat itulah timbul rasa kerinduannya untuk kembali ke tanah air Sulawesi Selatan.
Kepada komandannya di Singapura ia mengajukan permohonan pengunduran dirinya dari dinas militer Inggris. Tetapi keinginannya tersebut ditolak oleh komandannya dan ia diharuskan untuk menghadap langsung kepada petinggi petinggi angkatan perang Inggris di London mengenai pengunduran dirinya. Di Singapura ia sempat dipertemukan dengan Panglima Belanda oleh sahabat – sahabatnya tentara Belanda. Kerinduan akan kampung halamannya membuat ia berdusta dan mengaku kepada Panglima Belanda di Singapura bahwa ia telah keluar dari angkatan perang Inggris. Ia mengajukan keinginannya untuk bergabung di militer Belanda, maklumlah karena sistem kemiliteran pada waktu itu masih kurang ketat terlebih karena keadaan perang maka Belanda tidak mengecek keabsahan pengakuannya dan ia diterima kembali aktif di angkatan perang Belanda atau KNIL. Tetapi setelah ia di terjunkan di Plaju, Sumatera Selatan ia melarikan diri dan masuk kembali ke Singapura secara diam – diam untuk menumpang kapal laut menuju ke Makassar. Pada tahun 1946 ia tiba di Makassar dan menyamar sebagai terntara Inggris. Sebetulnya NICA sedang mencari – cari keberadaan Andi Aziz yang desersi tersebut untuk diadilkan di pengadilan militer. Tetapi kembali mengingat keadaan yang simpang siur dan kacau maka NICA tidak berhasil membawa Andi Aziz untuk di adili. Pada tahun yang sama ia diterima bekerja di kepolisian atas dasar pendidikan militer dan pengalaman perang gerilyanya yang bagus.
Ketika Negara Indonesia Timur di bentuk ia di angkat sebagai adjudan Presiden Sukawati dan pangkatnya di kembalikan menjadi Letnan Dua KNIL. Pada tahun 1947 ia dikirim ke Bandung untuk menjadi instruktur pendidikan militer disana dan kembali ke Makassar pada tahun 1948. Sekembalinya di Makassar ia di angkat menjadi Komandan Divisi 7 Desember, anak buahnya adalah asli orang Belanda. Menjelang penyerahan kedaulatan pada tahun 1949 ia dipercayai untuk membentuk satu kompi pasukan KNIL dan memilih langsung anak buahnya yang mana berasal dari Toraja, Sunda dan Ambon. Kompi inilah yang kemudian di resmikan oleh Panglima Teritorial Indonesia Timur, Letnan Kolonel Akhmad Junus Mokoginta dan dilebur menjadi bagian dari APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Pada tanggal 5 April 1950 kompi ini jugalah yang diandalkan Andi Aziz untuk melakukan pemberontakan.
Latar belakang timbulnya pemberontakan Andi Aziz adalah sebagai berikut :
Timbulnya pertentangan pendapat mengenai peleburan Negara bagian Indonesia Timur (NIT) ke dalam negara RI. Ada pihak yang tetap menginginkan NIT tetap dipertahankan dan tetap merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS), sedangkan di satu pihak lagi menginginkan NIT melebur ke negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta.
Ada perasaan curiga di kalangan bekas anggota – anggota KNIL yang disalurkan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Setikat (APRIS)/TNI. Anggota – anggota KNIL beranggapan bahwa pemerintah akan menganaktirikannya, sedangkan pada pihak TNI sendiri ada semacam kecanggungan untuk bekerja sama dengan bekas lawan mereka selama perang kemerdekaan.
Kedua hal tersebut mendorong lahirnya pemberontakan bersenjata yang dipimpin oleh bekas tentara KNIL, Andi Aziz, pada tanggal 5 April 1950. Padahal sebelumnya, pemerintah telah mengangkat Andi Aziz menjadi Kapten dalam suatu acara pelantikan penerimaan bekas anggota KNIL ke dalam tubuh APRIS pada tanggal 30 Maret 1950. Namun, karena Kapten Andi Aziz termakan hasutan Mr. Dr. Soumokil yang menginginkan tetap dipertahankannya Negara Indonesia Timur (NIT), akhirnya ia mengerahkan anak buahnya untuk menyerag Markas Panglima Territorium. Ia bersama anak buahnya melucuti senjata TNI yang menjaga daerah tersebut. Di samping itu, Kapten Andi Abdul Aziz berusaha menghalang – halangi pendaratan pasukan TNI ke Makassar karena dianggapnya bahwa tanggung jawab Makassar harus berada di tangan bekas tentara KNIL.
Adapun faktor yang menyebabkan pemberontakan adalah :
Menuntut agar pasukan bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di Negara Indonesia Timur
Menentang masuknya pasukan APRIS dari TNI.
Mempertahankan tetap berdirinya Negara Indonesia Timur.
Sebetulnya pemberontakan Kapten Andi Aziz adalah dikarenakan hasutan Dr. Soumokil Menteri Kehakiman Indonesia Timur. Tokoh ini jugalah yang memprakarsai adanya pemberontakan Republik Maluku Selatan. Kapten Andi Aziz mempunyai pertimbangan lain. Ia khawatir akan tindakan membabi buta dari Dr. Soumokil yang dapat mengakibatkan pertumpahan darah diantara saudara sebangsa. Atas dasar pertimbangan untuk menghindari pertumpahan darah tersebutlah ia bersedia memimpin pemberontakan. Ia merasa sanggup memimpin anak buahnya tanpa harus merenggut korban jiwa. Ternyata memang pemberontakan yang di pimpin olehnya berjalan sesuai dengan lancar dan tanpa merenggut korban jiwa. Hanya dalam waktu kurang lebih 30 menit semua perwira Tentara Nasional Indonesia dapat ia tahan dan Makassar dikuasainya.
Dengan anggapan sudah merasa kuat pada tanggal 5 April 1950, setelah menangkap dan menawan Letnan kolonel Mokoginta, Panglima Territorium Sulawesi, Kapten Andi Aziz mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada pemerintah pusat di Jakarta. Adapun isi pernyataan itu adalah sebagai berikut :
Negara Indonesia Timur harus tetap dipertahankan agar tetap berdiri menjadi bagian dari RIS
Tanggung jawab keselamatan daerah NIT agar diserahkan kepada pasukan KNIL yang telah masuk menjadi anggota APRIS. TNI yang bukan berasal dari KNIL tidak perlu turut campur
Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Hatta supaya tidak mengizinkan NIT dibubarkan dan bersatu dengan Republik Indonesia.
Tentu saja pernyataan Andi Aziz ini merupakan tamparan bagi pemerintah RIS. Untuk mempertanggungjawabkannya, Perdana Menteri RIS memanggil Kapten Andi Aziz agar menghadap ke Jakarta. Namun, panggilan pemerintah pusat itu tidak dihiraukan sama sekali oleh Kapten Andi Aziz itu sehingga Perdana Menteri RIS mengeluarkan ultimatum yang menyatakan bahwa dalam tempo 4 x 24 jam terhitung dari tanggal 8 April 1950, Kapten Andi Aziz harus sudah tiba menghadap ke Jakarta. Apabila ultimatum itu tidak diindahkan maka Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat akan menindak Kapten Andi Aziz. Selain itu, pemerintah pusat telah pula mengeluarkan perintah kepada Kapten Andi Aziz untuk :
Mengkoordinasikan pasukannya agar tidak liar
Melepaskan semua tawanan anggota TNI
Menyerahkan kembali persenjataan yang telah dirampasnya.
Mendengar ultimatum itu, Kapten Andi Aziz menyatakan kesediaannya untuk datang menghadap pada tanggal 13 April 1950. Akan tetapi, kesanggupan Kapten Andi Abdul Aziz ternyata tidak dipenuhi. Karena waktu itu Andi Aziz menganggap keadaan atau situasi di kota Makassar masih belum stabil karena masih ada pergerakan disana sini di dalam kota Makassar. Setelah ia merasa Makassar telah aman maka semua tawanannya termasuk Letnan Kolonel Akhmad Junus Mokoginta dilepaskannya. Oleh karena pemerintah telah memberikan kesempatan kepadanya dan kemurahan hati maka ketidakhadiran Andi Aziz ini dianggap sebagai pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Presiden memberikan amanat pada pidato radio yang menyatakan bahwa sejak tanggal 5 April 1950 Kapten Andi Aziz dinyatakan sebagai pemberontak dan daerah Makassar atau Indonesia Timur akan segera dibebaskan dari cengkraman pemberontak tersebut.
Setelah adanya pernyataan Andi Aziz sebagai pemberontak oleh Presiden maka Sri Sultan Hamengkubuwono selaku Menteri Pertahanan Keamanan RIS mengeluarkan perintah harian, yang berbunyi sebagai berikut :
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat menerima baik perintah Presiden RIS untuk menyelesaikan pemberontakan Andi Aziz di Makassar
Perintah tersebut akan segera dilaksankan.
Untuk menyelesaikan pemberontakan Andi Aziz maka dibentuklah sebuah pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel Alex E Kawilarang sebagai Panglima Operasinya. Untuk mendukung kelancaran operasi tersebut, dikirimkan pasukan ke NIT dengan kekuatan tiga Brigade dan satu Batalyon. Pasukan terdiri dari satu Brigade dari Divisi I Jawa Timur, satu Brigade Divisi III Jawa Tengah, satu Brigade dari Divisi IV Jawa Barat dan satu Batalyon dari Jawa Timur. Dari Jawa Tengah dikirim Brigade 10/Mataram Divisi III Diponegoro dibawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto. Kedua Batalyon yang dipersiapkan oleh Brigade 10/Mataram adalah batalyon Kresno dipimpin Mayor Daryatmo dan Batalyon Seno dipimpin Mayor Sujono. Dan pada tanggal 26 April 1950 pasukan expidisi telah mendarat di Sulawesi Selatan.
Andi Aziz diundang kembali oleh Presiden Soekarno untuk datang menghadap di Jakarta. Ia ditemani oleh pamannya yaitu Andi Patoppoi, lalu seorang Menteri Dalam Negeri Negara Indonesia Timur yaitu Anak Agung Gde Adung serta seorang wakil dari Komisi Tiga Negara. Ternyata undangan tersebut hanyalah jebakan Presiden Soekarno, sesampainya ia di pelabuhan udara kemayooran ia langsung ditangkap oleh Polisi Militer untuk dibawa ke pangadilan. Ia kemudian di tahan dan di adili di pengadilan Wirogunan Yogyakarta. Oleh pengadilan ia dijatuhi hukuman penjara 14 tahun, tetapi hanya delapan tahun saja yang ia jalani.
Walaupun demikian, penyelesaian masalah pemberontakan Andi Aziz ini belum dianggap selesai karena banyak anggota KNIL yang ditinggalkan oleh Kapten Andi Aziz melakukan teror terhadap rakyat. Pemberontakan berjalan terus yang dilancarkan oleh pasukan KNIL dan KL di Makasar. Pasukan KNIL selalu memancing ‑ mancing keadaan agar pasukan APRIS memulai serangan. Semula APRIS bersikap, tenang dan tidak termakan oleh pancingan fihak KNIL, namun setelah KNIL menyerang pos ‑ pos APRIS maka hilanglah kesabarannya dan membalas serangan tersebut sehingga pertempuran tidak dapat dielakkan lagi. Pada tanggal 6 Agustus 1950, APRIS melancarkan serangan urnum, sehingga pasukan KNIL terdesak, kemudian pimpinan KNIL minta berunding untuk mengakhiri pertempuran. Permintaan ita ditolak oleh Komandan ‑ Komando Militer kota Letkol Suharto dengan mengajukan dua alternatif meninggalkan Makasar atau dihancurkan sama sekali. KNIL yang sudah dalam keadaan sangat terdesak akhirnya menerima tuntutan tersebut. Kemudian pada tanggal 8 Agustus 1950 diadakan perundingan antara Kolonel Kawilarang dengan Mayor Jendral Schaffelaer. Hasil perundingan adalah bahwa Belanda bersedia menyerahkan senjata dan meninggalkan Makasar tanpa senjata. Dengan demikian tanggal 8 Agustus 1950 pemberontakan Andi Azis dapat diselesaikan, kemudian disusul dengan penarikan seluruh pasukan KNIL/KL dari Makasar tanpa senjata pada akhir bulan Agustus 1950.
Tahun 1958 Andi Aziz dibebaskan tetapi tidak pernah kembali ke Sulawesi Selatan sampai masa orde baru. Sekitar tahun 1970-an ia kembali ke Sulawesi Selatan sebanyak 4 kali dan terakhir pada tahun 1983. Setelah keluar dari tahanan ia terjun ke dunia bisnis dan bergabung bersama Soedarpo Sastrosatomo di perusahaan pelayaran Samudra Indonesia hingga akhir hayatnya. Andi Abdoel Aziz meninggal pada 30 Januari 1984 di Rumah Sakit Husada Jakarta akibat serangan jantung dengan umur 61 tahun. Ia meninggalkan seorang Istri dan tidak ada anak kandung. Jenasahnya diterbangkan dan dimakamkan di pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan di desa Tuwung kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Turut hadir sewaktu melayat di rumah duka yaitu mantan Presiden RI, BJ. Habibie beserta Istri, Mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan perwira perwira TNI lainnya.
Sebelum meninggalnya, ia pernah beberapa kali ia diminta aktif kembali ke dinas militer TNI oleh Presiden Soekarno dan diminta untuk membentuk pasukan pengaman Presiden yaitu Cakrabirawa. Tetapi atas nasehat orang tua dan juga saudara saudaranya maka ia menolak ajakan Presiden Soekarno tersebut. Pihak keluarga merasa bahwa Andi Aziz adalah seoarang buta politik yang sudah cukup merasakan akibatnya. Pihak keluarga tidak menginginkan hal tersebut terjadi untuk kedua kalinya. Beryuskur karena Andi Aziz menolak ajakan tersebut, ternyata pasukan Cakrabirawa ini jugalah yang di kemudian harinya terlibat membantu pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.
Upaya Mengisi Kemerdekaan
A. Penataan Kehidupan Politika. Sistem pemerintahan
Sejak pengakuan kedaulatan terhadap RIS, secara resmi tanggal 27 Desember 1949 oleh Belanda. Seharusnya Belanda tidak campur tangan lagi dalam urusan Indonesa secara langsung. Tetapi dalam kenyataannya Belanda masih sering ikut campur urusan dalam negeri Indonesia sehingga menyulitkan pemerintah dalam menata kehidupan politik dan ekonomi, antara lain terhadap pemberontakan APRA, Andi Aziz dan RMS. Itulah sebabnya RIS hanya bertahan selama 8 bulan ( 27 desember 1949 – 17 agustus 1950) akibat desakan untuk kembali dari bentuk Negara Negara bagian kebentuk Negara kesatuan. Untuk kembali kenegara kesatuan , pada tahun 1950 dibentuk UUDS.
Dalam UUDS tahun 1950, system pemerintahan yang dianut adalah system Demokrasi Liberal dengan cabinet Parlementer. Pada masa cabinet parlementer ini bukannya bertambah baik, tetapi malah bertambah buruk karena terjadi pergulatan diantara partai-partai politik. Setiap partai politik berupaya untuk merebut kedudukan tertinggin dengan menjatuhkan lawan politiknya, sehingga cabinet dapat bertahan lama dan selanjutnya jatuh sebelum dapat melaksanakan program partainya.
Pada masa ini terjadi beberapa kali pergantian cabinet diantaranya :
1. Kabinet Natsir ( September 1950 – maret 1951)
Kabinet pertama NKRI tahun 1950 adalah cabinet Natsir dengan perdana Menterinya Mohammad Natsir (Masyumi), Kabinet mulai goyah sejak kegagalan dalam perundingan dengan Belanda mengenai Irian Barat. Kabinet Jatuh setelah PNI mengajukan mosi tidak percaya menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah No. 39/1950 tentang DPRD dan DPRDS
2. Kabinet Sukiman (April 1951 – April 1952)
Kabinet ini dipimpin oleh Sukiman Wiryosanjoyo, sebagai perdana menteri. Kabinet merupakan koalisi PNI dan Masyumi. Kabinet mulai goyah akibat ditandatanganinya perjanjian kesepakatan antara Menlu Subandrio dan duta besar AS Merle Cohran tentang bantuan ekonomi dan militer. Kabinet dicecar tuduhan melencengkan Indonesia baik dari politik luar negeri bebas aktif. Setelah PNI dan Masyumi menarik dukungannya, cabinet inipun jatuh.
3. Kabinet Wilopo (April 1952 – Juni 1952)
Kabinet ini dipimpin oleh Mr. Wilopo, semasa cabinet ini, Indonesia dilanda krisis ekonomi berupa jatuhnya harga barang-barang ekspor dan krisis politik berupa aksi ketidakpuasan dan demonstrasi diberbagai daerah. Ketidakmampuan menyelesaikan soal tanah yang terkenal dengan peristiwa Tanjung Morawa di Sumatera Utara (bentrokan antara aparat kepolisian dan para petuni liar) dan peristiwa 17 oktober 1952 (gerakan sejumlah perwira AD menekan Presiden Soekarno agar membubarkan cabinet. Pada saat yang sama, berlangsung demonstrasi didepan istana Negara mengajukan tuntutan yang sama. membuat cabinet Wilopo mengembalikan mandat kepada Presiden
4. Kabinet Ali sastriamijoyo I ( Juli 1953 – Juli 1955)
Dipimpin oleh Ali Sastroamijoyo, sebagai perdana menteri. Kabinet ini merupakan koalisi PNI dan NU. Kabinet menghadapi ujian berat berupa kemelut dalam tubuh angkatan darat. Namun cabinet ini sempat menunjukkan prestasi berupa penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika tahun 1955*. Memuncaknya krisis ekonomi dan perseteruan antara PNI dan NU membuat NU menarik dukungannya terhadap cabinet sehingga cabinet inipun akhirnya jatuh.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956)
Kabinet ini dipimpin Burhanuddin Harahap sebagai perdana menteri. Prestasi yang menonjol dari kabinet ini adalah penyelenggaraan Pemilu I yang amat demokratis. Selain itu, kabinet menunjukkan keunggulan Indonesia dalam diplomasi perjuangan Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Namun Pemilu I tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap cabinet ini sehingga jatuh.
6. Kabinet Ali Sostroamijoyo II (Maret 1956 – maret 1957)
Kabinet ini dipimpin oleh Ali Sostroamijoyo sebagai perdana menteri. Kabinet koalisi PNI, Masyumi dan NU merupakan cabinet yang pertama sesudah Pemilu. Kabinet menghadapi pergolakan didaerah yang semakin menguat, berupa pembentukan dewan militer di Sumatera dan Sulawesi. Mundurnya sejumlah menteri asal Masyumi membuat cabinet jatuh.
7. Kabinet Karya atau Juanda (April 1957 – Juli 1959)
Kabinet dipimpin oleh Juanda sebagai perdana menteri. Kabinet terdiri atas para pakar dibidangnya sehingga disebut zaken cabinet. Kabinet memiliki program bernama Panca Karya sehingga memperoleh sebutan cabinet Karya. Kabinet menjadi demisioner saat presiden mencanangkan dekrit pada bulan juli 1959.
b. Sistem kepartaian
Muncul dan berkembangnya partai di dalam suatu Negara merupakan suatu cirri utama bahwa Negara tersebut menganut paham demokrasi . Begitu pula dengan Indonesia yang baru berdiri, ingin menyatakan bahwa Indonesia menganut paham demokrasi.
Untuk lebih menegaskan bahwa Indonesia menganut paham demokrasi, maka dikeluarkanlah Maklumat Wakil Presiden no. X tanggal 16 oktober 1945. Kemudian disusul lagi oleh Maklumat pemerintah tanggal 3 november 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia menganut system multi partai. Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya partai-partai politik. Dari tahun 1945 – 1950, telah berdiri dengan resmi 25 partai politik. Menjelang Pemilu 1955 telah ada 70 partai politik yang ikut ambil bagian dalam Pemilu, tetapi setelah penyeleksian akhirnya yang berhak ikut Pemilu I hanya 27 partai.
Diantara partai politik yang ikut ambil bagian dalam Pemilu I terdapat 4 partai politik yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI.
Akan tetapi system multi partai hanya berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit presiden 5 juli 1959. Hal ini disebabkan mekanisme politik sama sekali tidak berfungsi. Oleh karena itu, pada masa-masa selanjutnya diadakan penyederhanaan system kepartaian melalui penetapan presiden (penpres) No. 7 / 1959 dan peraturan presiden (perpres) No. 13 / 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai – partai politik.
Pada tanggal 17 agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan. Tokoh kedua partai tersebut dianggap oleh pemerintah dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Dalam rangka penyederhanaan partai ini pula, tanggal 14 april 1961 pemerintah mengeluarkan pengumuman pemerintah yang berisi tentang pengakuan hanya kepada partai-partai:
1. PNI 4. PSII 7. Perti
2. NU 5. Parkindo 8. Murba
3. PKI 6. Partai katolik 9. Partindo
Partai Murba kemudian dibubarkan oleh pemerintah tanggal 21 september 1961. Murba dianggap oleh PKI sebagai kelompok komnis yang menyimpang.
Pengurangan jumlah partai politik ternyata tidak mengurangi pertentangan ideology dalam masyarakat. Untuk mengatasi hal tesebut, pada tanggal 12 Desember 1964 diselenggarakan pertemua partai-partai politik di Bogor.pertemuan tersebut menghasilkan suatu dokumen yang dikenal Deklarasi Bogor. Deklarasi tersebut menegaskan perlunya dipupuk persatuan nasional yang berporos pasa NASAKOM. Keberadaan poros nasakom tersebut memperlihatkan adanya pengaruh PKI yang kemudian semakin berkembang sampai akhir tahun 1965.
Pada tanggal 12 maret 1966, PKI dibubarkan oleh pengemban Supersemar, Soeharto. Pembubaran tersebut berkaitan dengan keterlibatan PKI dalam gerakan 30 september tahun 1965.
Setelah PKI dibubarkan di usahakan pembinaan partai-partai politik. Pada bulan oktober 1966, partai Murba direhabilitasi. Pada tanggal 20 februari 1968, berdasarkan keputusan Presiden No. 70 tahun 1968, didirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Partai ini merupakan gabungan dari sejumloah organisasi kemasyarakatan islam yang ada seperti Muhammadiyah, PUI dan Ali Wasliyah.
Pada masa orde baru ini pula, telah dilakukan kebijakan dalam system kepartaian. Kebijakan tersebut menyangkut upaya pengelompokan partai politik. Upaya itu ditempuh guna mengantisipasi berbagai persolan yang pernah terjadi pada masa orde lama. Pada tanggal 27 Februari 1970, presiden soeharto berkonsultasi dengan partai politik mengenai gagasan pengelompokan partai. Presiden Soehato mengatakan bahwa pengelompokan partai bertujuan untuk memanfaatkan suara-suara yang tercecer. Disamping itu, pengelompokan partai politik berarti upaya penyederhanaan partai sesuai dengan dengan ketetapan MPRS No. XXII / MPRS / 1966. Gagasan tersebut pada intinya pengelompokan partai kedalam kelompok-kelompok berikut.
1. Kelompok material – spiritual, yang terdiri dari PNI, Murba, IPKI, Partai Katolik dan Partindo. Kelompok ini menekankan pembangunan yang bersifat material, tetapi tanpa mengabaikan aspek spiritualnya.
2. Kelompok spiritual – material, yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII dan Perti. Kelompok ini menekankan pembangunan yang bersifat spiritual tetapi tanpa mengabaikan aspek material.
Pada tanggal 5 januari 1973, keempat partai islam, yaitu NU, PSII, Perti dan Parmusi berfusi dalam satu partai politik yang bernama Partai persatuan pembangunan (PPP). Enam hari kemudian, yaitu tanggal 11 januari 1973, partai yang tergabung dalam kelompok material-spiritual mendirikan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Pengelompokan ini dituangkan dalam UU no. 3 tahun 1975 tentang partai politik dan golongan Karya (Golkar). Dengan demikian, sejak pemilu 1977, hanya terdapat 3 organisasi politik, yaitu PPP, PDI dan Golkar. UU tentang Parpol dan Golkar kemudian diperkuat lagi dengan UU no.3 tahun 1985.
3. Pemilihan umum (PEMILU)
Pada awal kemerdekaan, upaya untuk menyelenggarakan pemilu dimaksudkan untuk memperjuangkan Republik Indonesia agar diakui dan dihormati oleh seluruh dunia. Bagi bangsa Indonesia sendiri, Pemilu dijadikan sarana untuk menggalang kekuatan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan Negara yang baru diproklamasikan.
Pemilu I setelah Indonesia merdeka baru dapat terlaksana pada tahun 1955, yaitu pada masa cabinet Burhanuddin Harahap. Pemilu I bertujuan untuk memilih anggota DPR dan anggota konstituante. Pemilihan anggota DPR diselenggarakan tanggal 29 september 1955. pelantikan anggota DPR dilaksanakan tanggal 20 maret 1956. sedangkan pemilihan anggota konstituante diselenggarakan tanggal 15 desember 1955 dan dilantik tanggal 10 november 1956.
Dalam pemilu I ini telah muncul empat partai besar, yaitu Masyumi, yang memperoleh 60 kursi di DPR, PNI (58 kursi), NU (47 kursi) dan PKI (32 kursi).
Pada masa Orde Baru pemilu mulai dilaksanakan pada tahun 1971. Sembilan partai politik dan golongan karya turut serta dalam pemilu ini. Kesembilan partai politik itu adalah Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, Partai Murba, Ikatan pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), PNI, NU, PSII, Parmusi dan Perti. Dari sepuluh organisasi peserta pemilu, delapan diantaranya adalah organisasi politik/partai yang sudah ada (berdiri sebelum masa orde baru), sedangkan dua lainnya adalah partai politik yang baru, yaitu Permusi dan IPKI.
Dalam Pemilu tahun 1971, partai-partai politik mendapat 124 kursi di DPR, sedangkan Golongan Karya mendapat 236 kursi.
Pada tahun 1977, diadakan pemilu yang ketiga. Pemilu kali ini diikuti oleh 3 organisasi social politik, yaitu PPP, Golkar dan PDI. Hasil pemilu pada masa itu, Golkar mendapat 257 kursi, sedang partai politik yang lainnya mendapat 128 kursi. Setelah pemilu 1977, pada masa Orde baru berturut-turut dilaksanakan pemilu tahun 1982, 1987, 1992 dan 1997, dengan azaz Jurdil. Tetapi dikarenakan Presiden Soeharto mengundurkan diri tahun 1998, maka Pemilu kemudian dilaksanakan tahun 1999 yang diikuti 48 peserta partai politik dan terakhir dilaksanakan tahun 2003 dengan jumlah peserta 24 partai politik dengan azaz Luber dan Jurdil.
B. Penataan Kehidupan Ekonomi
1. Nasionalisasi De Javanche Bank menjadi Bank Indonesia
Pada tanggal 15 Agustus 1950, Konstitusi RIS diubah menjadi UUDS 1950. Bentuk Negara Serikat berubah menjadi bentuk Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perubahan pada konstitusi ini tidak banyak berpengaruh pada bidang keuangan, karena pasal-pasal yang menyangkut bidang keuangan dan status kepemilikan bank sirkulasi sama dengan pasal-pasal yang tercantum dalam Kondtitusi RIS. Dengan demikian, perubahan dari bentuk Negara federal menjadi Negara kesatuan tidak mempengaruhi kedudukan yuridis De Javanche Bank. Dengan tidak berubahnya bentuk yuridis tersebut, maka fungsinyapun tetap seperti sediakala. Demikian juga kepemimpinannya, hamper seluruhnya masih dijabat oleh orang-orang Belanda. Keadaan seperti ini jelas menyebabkan kedudukan pemerintah Republik Indonesia menjadi sangat lemah. Disatu pihak, pemerintah sudah memiliki dan diperlengkapi dengan ssuatu bank sirkulasi. Namun dipihak lain, bank tersebut tidak dikelola oleh orang-orang Indonesia, melainkan orang-orang Belanda.
Kelemahan ini bersumber pada hasil persetujuan KMB yang memuat ketentuan :
1. Suatu Peraturan Pemerintah Indonesia, sepanjang menyangkut De Javanche Bank, terlebih dahulu harus dikonsultasikan dengan pemerintah Belanda, termasuk pula terhadap perubahan personalia direksi bank bersangkutan.
2. Konsultasi dengan pemerintah Belanda tersebut diwajibkan pula untuk kredit-kredit yang akan diberikan oleh de Javanche Bank kepada pemerintah Indonesia.
Ketentuan ini sangat menghambat pemerintah Indonesia dalam menjalankan kebijakan moneter dan ekonomi yang dikehendakinya. Oleh karena itu tidak heran kalau terdapat desakan-desakan agar De Javanche Bank dinasionalisasikan dan menjadi milik pemerintah Indonesia.
Dalam keterangan pemerintah tanggal 28 Mei 1951didepan DPR, dikemukakan rencana pemerintah mengenai nasionalisasi De Javanche Bank menjadi Bank Indonesia. Pada tanggal 19 Juni 1951, dibentuk Panitia Nasionalisasi De Javanche Bank berdasarkan keputusan Pemerintah No.118 tanggal 2 Juni 1951.
Tugas panitia tersebut adlah mengajukan usul mengenai nasionalisasi, rencana UU nasionalisasi, serta merencanakan UU yang baru mengenai bank sentral. Panitia diberi wewenang mengadakan perundingan-perundinan mengenai nasionalisasi tersebutsebagai tindakan-tindakan persiapan. Kemudian Pemerintah mengangkat Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai presiden De Javanche Bank berdasarkan keputusan Presiden RI No. 123 tanggal 12 Juli 1951. sebelumnya pemerintah telah memberhentikan Dr. Houwink (warga Belanda) sebagai Presiden De Javanche Bank berdasarkan keputusan Presiden RI No. 122 tanggal 12 Juli 1951.
Atas saran Panitia Nasionalisasi, pada tanggal 3 agustus 1951 pemerintah mengumumkan bahwa pemerintah bersedia membeli surat-surat yang ada pada pemegang saham ataupun sertifikat dari saham-saham De Javanche Bank dengan kurs 120 persen mata uang Nederland atau harga lawan dalam satuan mata uang dari tempat mereka tingal. Dengan pengertian bahwa pemegang surat-surat yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia dan menjadi penduduk Indonesia akan menerima pembayaran dalam rupiah dengan kurs 360 persen.
Jangka waktu pembayaran secara sukarela tersebut berakhir pada akhir bulan September 1951 dan kemudian diperpanjang lagi sampai 15 oktober 1951. Namun dalam kenyataannya, sahm-saham yang diajukan itu melewati batas waktu yang ditentukan.
Penyerahan itu berjalan dengan lancar dan saham-saham serta sertifikat yang ditawarkan secara sukarela itu dapat mencapai jumlah Rp 8,95 juta (nominal).
Pada tanggal 15 desember 1951 diumumkan UU No. 24 taqhun 1951 tentang nasionalisasi De Javanche Bank N.V. menjadi Bank Indonesia yang berfungsi sebagai bank sentral dan bank Sirkulasi.
UU tersebut diperkuat lagi dengan dikeluarkannya UU No. 11/1953 dan lembaran Negara No. 40. dengan UU dan lembaran Negara tersebut dikeluarkan UU Pokok Indonesia yang mulai berlaku tanggal 1 juli 1953. dengan dikeluarkannya UU pokok bank Indonesia itu, semakin kukuhlah Bank Indonesia sebagai Bank milik pemerintah RI. Dalam UU pokok BI tersebut, modal BI ditetapkan sebanyak Rp. 25 juta dan bertindak sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. Kegiatan-kegiatan De Javanche Bank sebagai bank biasa dan dagang diseraqhkan kepada bank-bank lain yang ditunjuk dengan Undang-Undang. Jabatan presiden diganti dengan gubernur. Menteri keuangan, perekonomian dan gubernur Bank Indonesia adalah dewan moneter yang membawahi direksi. Kebijaksanaan moneter ditentukan oleh Dewan, sedangkan Direksi Bank bertindak sebagai pelaksana. Dewan komisaris ditiadakan dan diganti dengan dewan penasehat yang memberikan nasehat kepada dewan moneter.
Dalam masa system ekonomi terpimpin, semua bank-bank yang dikuasai oleh Negara disatukan dengan nama Bank Negara Indonesia, ditambah dengan nomor unit. Pada bulan agustus 1965, Bank Indonesia menjadi Bank Negara Indonesia Unit I.
2. Sistem ekonomi Gerakan Benteng
Selain menasionalisasi De Javanche Bank menjadi Bank Indonesia, pemerintah juga berupaya menciptakan system perekonomian Indonesia yang mengarah pada pembangunan perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia.
Perkembangan dan pembangunan ekonomi ini mendapat perhatian dari Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Tokoh ini berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru. Dalam melaksanakan pembangunan ekonomi baru, yang perlu dilakukan adalah mengubah struktur ekonomi dari system ekonomi colonial kedalam system ekonomi nasional.
Sumitro mencoba mempraktekkan pemikiran itu pada sector perdagangan. Dalam pemikiran tersebut terkandung tujuan memberikan kesempatan kepada para pengusaha pribumi untuk berpartisipasi dalam membangun perekonomian nasional. Sumitro juga berpendapat bahwa pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha itu. Bantuan dan bimbingan itu dapat dalam bentuk pemberian kredit atau bimbingan kongkret. Bantuan dan bimbingan itu diberikan kepada pengusaha Indonesia yang pada umumnya tidak memiliki modal yangcukup. Apabila usaha ini berhasil, para pengusaha Indonesia dapat berkembang maju. Dengan demikian, upaya mengubah struktur ekonomi colonial akan mudah tercapai.
Program system ekonomi dari gagasan Soemitro ini dituangkan dalam program cabinet Natsir (September 1950 – April 1951), ketika ia menjabat sebagai menteri perdagangan. Program ekonomi Sumitro ini dikenal dengan Program Ekonomi Gerakan Benteng (Program Benteng). Program Benteng dimulai pada bulan April 1950 dan berlangsung selama tiga tahun ( 1950 – 1953). Lebih kurang 70% pengusaha pribumi Indonesia mendapat bantuan kredit dari program benteng ini.
Program Benteng ini pada dasarnya mempunyai tujuan sebagai beikut:
1. Menumbuhkan dan membina wiraswastawan Indonesia (pribumi) sambil menumbuhkan nasionalisme ekonomi atau Indonesianisasi
2. Mendorong para importer nasional agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan impor asing
3. Membatasi impor barang-barang tertentu dan memberikan lisensi impor hanya kepada importer Indonesia
4. Memberikan bantuan dalam bentuk kredit keuangan kepada para pengusaha Indonesia.
Sasaran utama program ini adlah pembentukan modal yang cukup besar melalui kegiatan transaksi-transaksi impor yang sangat menguntungkan untuk memungkinkan dimulainya usaha mendirikasn industri-industri kecil-kecilan.
Akan tetapi, program tersebut tidak berhasil mencapai tujuan, karena para pengusah pribumi terlalu tergantung pada pemerintah. Mereka kurang bisa mandiri untuk mengembangkan usahanya. Bahkan, ada pengusaha yang menyalahgunakan kebijaksanaan pemerintah tersebut dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Ketika Mr. Iskaq Tjokroadisuryo menjabat sebagai menteri perekonomian dibawah cabinet Ali, ia melanjutkan upaya-upaya untuk mengangkat peran para pengusaha pribumi. Bahkan iskaq, lebih mengutamakan kebijaksanaan Indonesianisasi, yaitu mendorong timbul dan berkembangnya pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi dalam usaha merombak ekonomi colonial menjadi ekonomi nasional. Langkajh-langkah yang diambil, antara lain mewajibkan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf, mendirikan perusahaan Negara, menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha swasta nasional, serta memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada.
* Konferensi Asia Afrika berlangsung di Gedung Merdeka, bandung tanggal 18 – 25 April 1955. Konferensi diikuti oleh 29 negara. Konferensi menghasilkan piagam Dasasila Bandung, yang mendasari pendirian Gerakan Non Blok
0 komentar:
Posting Komentar