Politik Luar Negeri Indonesia: Antara Idealisme dan Rasionalisme
Persoalan
inilah yang sejatinya berusaha dikonfrontasi oleh Bung Hatta dalam
pidatonya Mendayung di Antara Dua Karang, yang disampaikan oleh Bung
Hatta di muka Badan Pekerja Komite Nasional Pusat di Yogyakarta pada
1948. Hatta dengan jeli menangkap potensi konflik internal antarkelompok
elite setelah persetujuan Linggarjati dan Renville.Ia menyimpulkan
bahwa pro-kontra terhadap kedua persetujuan antara pemerintah
Indonesia yang baru merdeka dan pemerintah kerajaan Belanda itu
sebenarnya merupakan gambaran konkret dari dinamika politik
internasional yang diwarnai pertentangan politik antara dua adikuasa
ketika itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika itulah Hatta mulai
memformulasikan adagium politik luar negeri kita yang bebas dan
aktif.
Bila diamati dengan cermat,
sebagaimana ditemukan dalam sebuah tulisan Bung Hatta di jurnal
internasional terkemuka Foreign Affairs (vol 51/3, 1953), politik luar
negeri bebas aktif diawali dengan usaha pencarian jawaban atas
pertanyaan konkret: have then Indonesian people fighting for their
freedom no other course of action open to them than to choose between
being pro-Russian or pro-American? The government is of the opinion
that position to be taken is that Indonesia should not be a passive
party in the arena of international politics but that it should be an
active agent entitled to determine its own standpoint. The policy of
the Republic of Indonesia must be resolved in the light of its own
interests and should be executed in consonance with the situations and
facts it has to face.
Tampak
jelas bahwa ide dasar politik luar negeri bebas aktif yang dikemukakan
oleh Hatta sama sekali bukan retorika kosong mengenai kemandirian dan
kemerdekaan, akan tetapi dilandasi pemikiran rasional dan bahkan
kesadaran penuh akan prinsip-prinsip realisme dalam menghadapi dinamika
politik internasional dalam konteks dan ruang waktu yang spesifik.
Bahkan dalam pidato tahun 1948 tersebut, Hatta dengan tegas
menyatakan, percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan
kita sendiri tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan
daripada pergolakan politik internasional.
Pelajaran
terpenting yang bisa kita ambil dari para founding fathers kita
adalah bahwa politik internasional tidak bisa dihadapi dengan
sentimen belaka. Namun, dengan realitas dan logika yang rasional.
Contoh yang paling sering disebut adalah pilihan yang diambil Uni
Soviet pada 1935 ketika ia harus menghadapi kelompok fasis pimpinan
Hitler. Para pemimpin Uni Soviet menyerukan kader dan sekutunya di
seluruh dunia untuk mengurangi permusuhan dengan kelompok kapitalis
dan menyerukan dibentuknya front bersama melawan fasisme. Kemudian
pada 1939, Uni Soviet mengadakan kerja sama nonagresi dengan musuhnya
sendiri, Jerman. Dengan itu, Soviet terbebaskan untuk beberapa waktu
lamanya dari ancaman penaklukan. Contoh inilah yang dikemukakan
Hatta untuk menggambarkan betapa politik internasional sedapat mungkin
dijauhkan dari prinsip sentimental dan didekatkan pada prinsip
realisme.
Dalam menghadapi dilema
di atas, Soekarno dan Soeharto–dua presiden yang lama
berkuasa–menghadapinya dengan cara yang berbeda. Soekarno menjalankan
politik luar negeri Indonesia yang nasionalis dan revolusioner. Hal
ini tecermin dari politik konfrontasi dengan Malaysia, penolakan keras
Soekarno terhadap bantuan keuangan Barat dengan jargon go to hell
with your aid, dan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaannya
dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Landasan pemikiran Soekarno
adalah Indonesia harus menolak perluasan imperialisme dan kembalinya
kolonialisme. Dan pembentukan Malaysia, bantuan keuangan Barat serta
PBB, dalam pemikiran Soekarno ketika itu, adalah representasi
imperialisme dan kolonialisme.
Di
lain pihak, Soeharto menghadapinya dengan cara yang berbeda.
Soeharto dan Orde Baru-nya tidak menolak hubungan dengan
negara-negara Barat, dan pada saat yang bersamaan berusaha untuk
menjaga independensi politik Indonesia. Paling tidak hal ini bisa
dilihat dari kenyataan bahwa Indonesia melalui ASEAN menolak
kehadiran kekuatan militer Barat di kawasan regional Asia Tengggara.
Perlu diperhatikan bahwa Hatta, Soekarno, dan Soeharto bekerja dalam
konteks Perang Dingin dengan fixed-premis-nya mengenai dunia yang
bipolar, terbagi dua antara Blok Barat dan Tim
Dengan berlangsungnya proses transisi
menuju demokrasi, beberapa pertanyaan muncul: akankah sebuah rezim
demokratis yang solid bisa dihadirkan di Indonesia? Ataukah rezim
otoriter, dengan beragam bentuk dan levelnya, tetap mewarnai politik
domestik Indonesia dan pada akhirnya wajah sentralistis dari perumusan
kebijakan luar negeri kita tetap dominan?
Di
sisi lain, politik internasional pun mengalami perubahan
fundamental. Setelah Perang Dingin usai, yang ditandai dengan runtuhnya
tembok Berlin yang menyimbolisasi dunia yang bipolar dan pecah
berantakannya negara Uni Soviet, format konstelasi politik
internasional belum lagi menemukan bentuknya. Variabel yang harus
diperhatikan pun semakin kompleks setelah terjadinya aksi terorisme ke
New York dan Washington pada 11 September 2001. Perang melawan teror
yang dikampanyekan Amerika Serikat di seluruh dunia, amanat
demokratisasi dan juga tantangan-tantangan baru yang muncul setelah
Perang Dingin membawa kita pada satu pertanyaan: di manakah dan
bagaimanakah Indonesia menempatkan dirinya?
Tampaknya
peristiwa 11 September 2001 dan segala konsekuensi yang mengikutinya
menunjukkan dengan sangat jelas, baik kepada warga negara biasa
ataupun para pembuat kebijakan, bahwa politik domestik Indonesia
sangat terkait erat dengan dinamika politik internasional dan
demikian pula sebaliknya. Bila dulu dikenal adagium foreign policy
begins at home, yang menyiratkan pengertian bahwa politik luar negeri
merupakan cerminan dari politik dalam negeri, maka kini kita bisa
saksikan bahwa politik domestik bisa amat dipengaruhi oleh dinamika
eksternal kita.
Menteri Luar
Negeri Hassan Wirajuda dalam pernyataan pers Departemen Luar Negeri
(Deplu) yang dikeluarkan awal 2002 ini menyebut faktor ‘intermestik’,
yakni keharusan untuk mendekatkan faktor internasional dan faktor
domestik dalam mengelola diplomasi. Artinya, diplomasi tidak lagi hanya
dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional
Indonesia ke luar, tapi diplomasi juga menuntut kemampuan untuk
mengomunikasikan perkembangan-perkembangan dunia luar ke dalam negeri.
Konsekuensi logis dari situsi ini adalah bahwa kita harus mampu
berpikir outward-looking dan inward-looking pada saat bersamaan.
Sudah
jelas bagi kita bahwa setelah Perang Dingin usai, isu utama dalam
politik internasional bergeser dari rivalitas ideologis dan militer
mejadi isu-isu mengenai kesejahteraan ekonomi yang mewujud dalam
usaha meliberalisasi perdagangan dunia, demokrasi, dan perlindungan
terhadap lingkungan hidup. Singkatnya, di samping isu yang
state-centric, isu-isu yang nonstate centric semakin mendapatkan
perhatian.
Isu-isu ini tidak
meniadakan isu keamanan dan isu militer lama, akan tetapi banyak aspek
dari isu keamanan mengalami perubahan bentuk. Pada dekade 1990-an,
isu keamanan nontradisional berbasis maritim semakin mengemuka.
Statistik memperlihatkan bahwa isu keamanan nontradisional seperti
pembajakan (piracy at sea), people smuggling, human-trafficking,
serta isu small arms transfer semakin meningkat frekuensinya. Bagi
negara kepulauan dengan batas wilayah yang terbuka dan luas seperti
Indonesia, tentu saja hal ini menjadi persoalan yang harus mendapat
perhatian utama.
Diplomasi kita
telah berhasil mengadvokasi kepentingan Indonesia melalui diakuinya
status Indonesia sebagai negara kepulauan melalui Law of The Sea
Convention pada 1982. Dalam sebuah tulisannya, Professor Hasjim
Djalal menyebutkan bahwa penerapan status kepulauan ini telah
memperluas wilayah laut Indonesia hingga 5 juta kilometer persegi!
Karena itu, menjaga kedaulatan dan keamanan laut dan udara di atasnya
akan menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia di masa yang akan
datang. Hal ini tidak hanya menjadi tugas angkatan bersenjata kita
untuk semakin mengorientasikan diri pada pengembangan kapasitas
kelautan dan udara daripada terus-menerus bertumpu pada kekuatan
teritorial darat yang bisa dikatakan semakin tidak relevan apabila
dikaitkan jenis dan bentuk ancaman yang baru tersebut.
Tentunya,
kebijakan luar negeri kita harus mampu meneruskan keberhasilan
diplomasi bidang kemaritiman yang sudah berhasil dicapai dan
menginkorporasikannya dengan tantangan berbasis maritim seperti
tersebut di atas. Kelak kita perlu memilih apakah Indonesia akan
memaksimalkan potensinya menjadi sebuah maritime power sungguhan atau
hanya menjadikannya sebagai legenda historis nenek moyang.
Demokratisasi
dan juga situasi eksternal yang berubah cepat juga menimbulkan
situasi di mana keterlibatan sebanyak mungkin aktor, baik negara
ataupun nonnegara, dalam kebijakan luar negeri Indonesia semakin
tidak terhindarkan. Kasus Timor Timur menjadi pelajaran penting
karena ia memperlihatkan bagaimana advokasi kelompok-kelompok
nonnegara yang bergerak dalam bidang HAM sangat efektif dalam proses
perjuangan masyarakat Timor Timur mencapai kemerdekaannya. Sementara,
Indonesia sangat terlambat dalam melibatkan beragam aktor nonnegara
dalam berbagai isu.
Kendala utamanya tampaknya terletak pada
mindset kita bahwa kedaulatan negara dipahami sebagai sebuah konsepsi
yang state-centric, sehingga isu-isu seperti hak asasi manusia,
lingkungan hidup, dan human security yang tentu saja akan melibatkan
aktor-aktor nonnegara dianggap sebagai isu yang akan mereduksi
kedaulatan dari state. Padahal, sebagaimana disebutkan di awal tulisan
ini, politik luar negeri harus dibimbing tidak hanya oleh
prinsip-prinsip ideasional belaka, tapi harus pula dibimbing oleh
prinsip-prinsip rasional. Ketika situasi dan tantangan yang ada semakin
menuntut keterlibatan lebih banyak aktor untuk menghadapinya maka
tidak ada pilihan lain selain mengakomodasinya. Di samping itu,
demokratisasi menuntut keadaan ketika semua orang atau kelompok
memiliki akses yang sama terhadap perumusan kebijakan, termasuk
kebijakan luar negeri. Hal terakhir yang penting adalah prinsip bebas
aktif harus ditafsirkan sebagai sebuah situasi di mana Indonesia
bebas memilih dengan siapa ia bisa memajukan kepentingan nasionalnya
secara aktif. Karena kita tidak lagi hidup dalam dunia dikotomis
seperti pada masa Perang Dingin
PERKEMBANGAN POLITIK DAN EKONOMI PADA MASA REFORMASI
0 komentar Diposkan oleh Nhiirmawatyy''amoora ABW di 02:36
Reformasi merupakan suatu perubahan
tatanan perikehidupan lama dengan tatanan perikehidupan yang baru dan
secara hukum menuju ke arah perbaikan. Gerakan reformasi, pada tahun
1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan
perubahan, terutama perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi,
dan hukum.
Buah perjuangan dari reformasi
itu tidak dapat dipetik dalam waktu yang singkat, namun membutuhkan
proses dan waktu. Masalah yang sangat mendesak, adalah upaya untuk
mengatasi kesulitan masyarakat banyak tentang masalah kebutuhan pokok
(sembako) dengan harga yang terjangkau oleh rakyat.
Sementara itu, melihat situasi
politik dan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin tidak terkendali,
rakyat menjadi semakin kritis menyatakan pemerintah Orde Baru tidak
berhasil menciptakan kehidupan masyarakat yang makmur, adil, dan
sejahtera. Oleh karena itu, munculnya gerakan reformasi bertujuan untuk
memperbaharui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Beberapa agenda reformasi yang disuarakan para mahasiswa anatara lain sebagai berikut :
- Adili Soeharto dan kroni-kroninya.
- Amandemen UUD 1945
- Penghapusan Dwi Fungsi ABRI
- Otonomi daerah yang seluas-luasnya
- Supremasi hukum
- Pemerintahan yang berisi dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
Pada awal bulan Maret 1998 melalui
Sidang Umum MPR, Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden Republik
Indonesia, serta melaksanakan pelantikan Kabinet Pembangunan VII. Namun
pada saat itu semakin tidak kunjung membaik. Perekonomian mengalami
kemerosotan dan masalah sosial semakin menumpuk. Kondisi dan siutasi
seperti ini mengundang keprihatinan rakyat.
Mamasuki bulan Mei 1998, para
mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demostrasi dan
aksi keprihatinan yang menuntut turunya Soeharto dari kursi
kepresidenannya.
Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam
aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti, terjadi bentrokan
dengan aparat keamanan yang menyebabkan tertembaknya empat mahasiswa
hingga tewas.
Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan
ribu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan
sekitarnya berhasil menduduki Gedung DPR/MPR. Pada tanggal itu pula di
Yogyakarta terjadi peristiwa bersejarah. Kurang lebih sejuta umat
manusia berkumpul di alun-alun utara kraton Yogyakarta untuk
mndengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Bowono X dan Sri Paku
Alam VII. Inti isi dari maklumat itu adalah menganjurkan kepada seluruh
masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tanggal 20 Mei 1998,
Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk
dimintai pertimbangannya membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai
oleh Presiden Soeharto, namun mengalami kegagalan.
Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul
10.00 WIB bertempat di Istana Negara, Presiden Soeharti meletakkan
jabatannya sebagai presiden di hadapan ketua dan beberapa anggota dari
Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie untuk
menggantikannya menjadi presiden, serta pelantikannya dilakukan
didepan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya. Maka sejak saat
itu, Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie sebagai
presiden yang ke-3.
0 komentar:
Posting Komentar